Antara Cinta dan Thalassemia

Cinta dan Thalassemia

Thalassemia adalah penyakit keturunan yang sulit dicegah. Pasangan berisiko tinggi, sangat dianjurkan untuk tidak menikah karena keturunannya punya peluang terkena penyakit kelainan darah ini. Dilematis memang, sebab manusia kadang tidak bisa memilih dengan siapa mereka akan jatuh cinta.

Thalassemia merupakan penyakit darah bawaan yang sebenarnya dapat dicegah dengan menghindari memilih pasangan hidup yang membawa gen thalassemia tersebut.

Penderita thalassemia mengalami kerusakan DNA yang menyebabkan tidak optimalnya produksi sel darah merah sehingga kerap menyebabkan anemia dan seumur hidup harus melakukan transfusi darah.

Dengan melakukan skrining sebelum menikah, pasangan pembawa gen tersebut bisa mengukur tanggung jawab apa yang harus dilakukan jika hal tersebut terjadi pada keturunannya. Jika masing-masing pasangan memiliki bawaan gen juga bisa memutuskan apakah akan memiliki anak atau tidak.

Hal ini dirasakan betul oleh Ruswandi, salah satu orangtua penderita thalassemia. Ketika menikah, ia dan pasangannya tidak tahu-menahu tentang thalassemia, hingga akhirnya anak kelimanya didiagnosis menderita thalassemia mayor.
Berbagai upaya baik medis maupun alternatif telah ditempuh oleh Ruswandi. Pengobatan dan transfusi darah rutin juga dilakukan, namun tidak berhasil. Sekitar 12 tahun lalu, si anak bungsu tersebut akhirnya meninggal pada usia 20 tahun.
Kehilangan orang yang dicintai juga dialami oleh Aan, warga Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Kakak sulungnya meninggal karena pembengkakan jantung, yang merupakan salah satu komplikasi akibat penumpukan zat besi pada penderita thalassemia.

Aan sendiri juga menderita thalassemia mayor, sehingga harus rutin memompa kelebihan zat besi dalam darahnya. Saat ini ia berusia 28 tahun, dan masih sehat bahkan cukup produktif dengan bekerja sebagai tenaga administrasi di Pusat Thalassemia RSCM.

Seorang remaja asal Bekasi, Ina juga merasakan 'kehilangan' sebagai dampak dari thalassemia yang dideritanya. Karena harus menjalani transfusi darah tiap bulan, ia sering bolos sekolah dan kemudian mendapat cemooh yang tidak menyenangkan dari teman-teman sekolahnya.

Tak kuat menghadapi tekanan, Ina yang kini berusia 18 tahun memilih berhenti sekolah saat masih duduk di kelas 2 SMA. Meski sempat menyesal, kini ia merasa baik-baik saja dengan hidupnya yang sehari-hari ia lewatkan dengan bermain band.

Kisah nyata tersebut diceritakan oleh para keluarga maupun penderita thalassemia di acara launching Sahabat Thalassemia '2000 untuk Berjuta Harapan' yang digagas Yayasan Thalassemia Indonesia bekerjasama dengan Prodia, Jumat (29/4/2010).

Obat-obatan Tidak Menyembuhkan, Hanya Meringankan Gejala
Menurut Dr. dr. Pustika Amalia Wahidayat, ApA (K) dari Pusat Thalassemia RSCM, penyakit ini tetap harus diobati. Memang bukan untuk menyembuhkan, melainkan untuk mengurangi gejala maupun resiko komplikasi yang dapat timbul karenanya.

Komplikasi paling berat adalah penumpukan zat besi, akibat rusaknya sel darah merah. Zat besi bisa menumpuk di berbagai organ, terutama jantung. Kerusakan jantung merupakan penyebab utama kematian pada penderita thalassemia.

Untuk mencegahnya, dr Amalia menyebut obat deferoksiamin yang bisa digunakan secara rutin melalui injeksi. Ada juga yang diminum, antara lain deferiprone dan deferasirox. Fungsinya sama, untuk membuang kelebihan zat besi.
Selain itu, zat besi juga bisa dibuang dengan alat bernama pompa kelasi besi. Pompa inilah yang dipakai secara rutin oleh Aan dan penderita thalassemia mayor yang lain, sebanyak 5 kali dalam seminggu.

Bisa Dicegah Dengan Pemeriksaan Darah
Ongkos perawatan bagi penderita thalassemia tidak bisa dibilang murah. Di banyak negara, biayanya sekitar 30 ribu dolas AS untuk 1 anak tiap tahun. Sementara di Indonesia berkisar antara 200-300 juta rupiah untuk 1 anak tiap tahun.

Menurut dr Amalia, biaya tersebut tidak sebanding dengan biaya pencegahan yang bisa dilakukan. Untuk melakukan skrining thalassemia, biaya yang dikeluarkan berkisar antara 400-700 ribu rupiah sekali periksa.

Pemeriksaan seharusnya dilakukan oleh setiap pasangan yang hendak menikah, supaya bisa diketahui seberapa besar kemungkinannya untuk memiliki anak dengan thalassemia. Pasangan beresiko tinggi, sangat dianjurkan untuk tidak menikah.

Seorang pembawa sifat thalassmia, atau disebut thalassemia minor, tidak akan menampakkan gejala apapun. Namun jika ia menikah dengan sesama thalassemia minor, peluang untuk mendapatkan keturunan thalassemia mayor adalah 25 persen.

"Susahnya adalah, orang yang merasa sehat pasti tidak merasa perlu untuk melakukan pemeriksaan pra-nikah. Padahal, bisa jadi orang yang sehat itu adalah pembawa sifat thalassemia," ungkap dr Amalia. Jika pasangan thalassemia minor menikah lalu hamil, pemeriksaan masih bisa dilakukan lewat cairan ketuban pada usia kehamilan 10-12 minggu. Hanya saja jika ternyata janin mereka positif thalasemia mayor, pilihannya menjadi lebih sulit karena harus aborsi.

Beberapa negara maju saat ini memang telah mensyaratkan krining thalassemia bagi pasangan yang hendak menikah. Karena penyakit ini menurun, maka kemungkinan penderitanya akan terus bertambah dari tahun ke tahunnya.

Di Indonesia setidaknya ada 3.000 bayi lahir menjadi penderita thalesemia. Penderita thalasemia mulai terlihat sejak usia dini atau mulai dari 6 bulan. Jika sudah terkena umumnya memerlukan transfusi rutin 1-2 bulan sekali

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Copyright © 2011 Portal Berita Terbaru designed by Cara & Cepplux. Qecak Media