Akibat Lalai Minum Obat TBC
Seorang gadis pernah mendatangi dokter karena keluhan batuknya yang tak kunjung sembuh. Awalnya si gadis didiagnosa TB (Tuberculosis), namun karena malas minum obat, penyakitnya itu berubah menjadi MDR-TB (Multiple Grug Resisten-Tuberculosis). Ia pun harus membayar mahal karena kelalaiannya.
MDR-TB terjadi karena kuman bakteri Mycobacterium tuberculosa sudah tidak mempan lagi dengan obat-obatan TB biasa.
"Biasanya karena 2 bulan minum obat TB sudah merasa sembuh, lalu tidak diteruskan. Ketika TB-nya kambuh lagi, obatnya sudah tidak mempan, akhirnya jadilah MDR," kata Dr Achmad Hudoyo, ketua bidang medis Perhimpunan Pemberantasan TBC Indonesia dalam acara seminar 'The Year of the Lung 2010' di gedung asma RS Persahabatan, Jakarta.
Dr Achmad pun akhirnya merujuk si gadis ke Rumah Sakit Persahabatan karena hanya disanalah satu-satunya rumah sakit di Jakarta yang menyediakan obat serta penanganan bagi pasien MDR.
Selain RS Persahabatan, ruang khusus MDR pun terdapat di RS Dr Sutomo, Surabaya. Pasien yang sudah mengalami resistensi obat TB atau MDR sudah tidak bisa lagi main-main dalam berobat. Tidak tanggung-tanggung, selama 2 tahun pasien harus rutin disuntik 6 bulan sekali.
Namun sebelum gadis itu menjalani pengobatan rutin, ia menangis pada sang dokter. Ia mengaku tidak sanggup jika harus melakukan pengobatan rutin dan bolak balik ke RS Persahabatan karena domisilinya yang cukup jauh, yakni di daerah Ciputat.
Belum lagi dengan biaya pengobatannya yang sangat mahal. Asal tahu saja, obat MDR-TB untuk 5 hari saja berkisar Rp 520.000 dan itu belum termasuk biaya suntiknya. Itu artinya, dalam satu hari ia harus mengeluarkan kurang lebih Rp 100.000 hanya untuk satu obat.
"Selain karena rumahnya yang sangat jauh dari tempat perawatan MDR di RS Persahabatan, ia juga menangis karena tidak sanggup membayar biaya obatnya yang sangat mahal. Gajinya sebagai SPG tidak mampu untuk membiayai semua biaya pengobatannya," tutur Dr Achmad.
Menurut data WHO, 50 persen kasus TB-MDR ada di China dan India, sementara 7 persen ada di Rusia. Kota Baku, ibukota Azerbaijan merupakan kota tertinggi kasus MDR, yakni 22,4 %. Sementara di Indonesia, menurut WHO terdapat sekitar 2 persen pasien MDR TB.
Penyebab resistensi ini sebenarnya akibat kesalahan berbagai pihak. Pertama dokter, karena memberikan dosis kurang tepat dan tidak dapat menyakinkan pasien agar teratur dalam menjalani pengobatan. "Padahal kalau saja rajin minum obat TB sebelumnya, tidak akan ada MDR. Biayanya juga akan lebih murah," kata Dr Achmad.
Kedua, pasien yang tidak disiplin dalam pengobatan. Ketiga, obat anti TB yang tidak berkualitas serta fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak mumpuni. "Intinya, kesalahan dokter dan pasien," ungkapnya.
Fenomena MDR menjadi kendala dan batu sandung dalam penanganan TB. "Pengobatan pasien MDR TB menjadi lebih sulit, lebih mahal, lebih banyak efek samping dengan tingkat kesembuhan yang relatif rendah. Jika dalam 2 tahun belum sembuh, kemungkinan berubah lagi menjadi XDR (Extremely Drug Resistent). Kalau sudah begitu, fatal akibatnya," kata Dr Achmad.
0 komentar:
Posting Komentar